Sabtu, 11 Juli 2009

Menabur Kebaikan, Menuai Kebaikan..

Satu hal yang aku yakini bahwa siapa yang menabur benih kebaikan, maka ia akan menuai buah kebaikan.. Jadi, marilah kita berbuat baik selalu, dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun...
Sungguh menyedihkan, mengenaskan dan memprihatinkan, setiap kita melihat siaran televisi dan radio yang memberitakan berbagai bencana atau musibah yang terjadi di sekitar kita. Anak-anak yang seharusnya bersekolah dengan tenang, harus kehilangan baju dan buku-buku sekolah, karena hanyut terbawa arus banjir yang melanda daerahnya. Sekelompok keluarga yang semula hidup begitu nyaman, tak pernah menyangka mereka akan menjadi penghuni tempat-tempat pengungsian, ketika sebuah tanggul jebol dan memporak-porandakan seisi rumah mereka. Banjir besar, gempa bumi dahsyat, tanah longsor, dan semua bencana yang terjadi, selain merusak prasarana dan sarana kehidupan, melumpuhkan aktifitas perekonomian, juga menelan banyak korban jiwa manusia dengan tak pandang bulu, anak-anak, orang muda, kakek nenek, bahkan bayi tak berdosa pun kerap lenyap, tanpa seorang pun dapat mengelaknya. Hanya dapat pasrah kepadaNya dan berusaha menghadapinya dengan lapang dada.

Memang hidup penuh perjuangan! Demi mempertahankan hidupnya, manusia bekerja membanting tulang siang dan malam. Kadang berjuang melawan penyakit yang dideritanya (walaupun tak diinginkan). Dan ketika bencana datang menerpanya, mereka juga harus berjuang untuk tetap hidup dan menata kembali kehidupannya dari puing-puing traumatis, kehancuran dan kehampaan. Namun di balik kesedihan, gerutu bahkan protes kita kepada Tuhan kala bencana menimpa kita, tidak ingatkah kita bahwa Tuhan tak akan pernah memberikan cobaan kepada kita, yang melebihi kemampuan kita untuk menghadapinya? Sungguh suatu janji manis yang akan menenangkan setiap kita bahkan di dalam keadaan sangat sulit sekalipun.

Namun, janji itu juga tak serta merta diberikan Tuhan langsung kepada setiap umatNya. Dia akan memakai setiap kita yang (puji Tuhan) masih dapat makan bersama keluarga di meja makan, masih dapat bersekolah dengan tenang, masih mempunyai pekerjaan dan penghasilan, masih dapat tertawa riang dan bernyanyi dengan sukacita. Kita akan dipakaiNya untuk menolong setiap mereka yang tidak (atau tidak lagi) merasakan seperti apa yang kita rasakan. Lalu..., apakah kita mau menjadi alatNya, dan siap mengulurkan tangan kita 'tuk membantu sesama yang membutuhkan..?

Bagaikan roda yang berputar, terkadang berada di atas dan terkadang di bawah. Begitu pula kita, manusia biasa yang tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada kehidupan kita di masa yang akan datang. Oleh karenanya kita tak pantas bersombong diri dan mementingkan kepentingan diri sendiri. Saling tolong menolong mungkin sikap yang paling pantas untuk kita lakukan selama kita hidup di dunia ini. Namun semuanya kembali pada diri kita masing-masing, apakah kita dengan iklhas dan tulus hati ingin menolong sesama atau tidak, dan tak ada seorang pun yang dapat dan berhak memaksakan kita untuk melakukannya.

Aku sungguh beruntung berada diantara teman-teman yang sangat peduli terhadap penderitaan orang-orang di sekitar kami. Secara berkala, kami merencanakan dan melakukan kegiatan sosial, sehingga secara tak langsung kami selalu diingatkan untuk setiap saat peduli dan berbagi kepada sesama. Bukan seberapa besar dana yang kami sumbangkan atau seberapa banyak waktu yang kami curahkan untuk melakukan aktifitas sosial, sebagai ukuran kepedulian kami terhadap sesama, namun yang terpenting adalah niat baik dan ketulusan hati setiap kami untuk melakukannya.

Dewasa ini, sikap peduli kepada sesama bukan hanya menjadi tanggung jawab pribadi, tapi juga bagi perusahaan, melalui berbagai aksi sosial yang dilakukan oleh perusahaan kepada masyarakat, yang kita kenal sebagai kegiatan CSR (Corporate Social Responsibilty).

Sebegitu pentingkah kita menolong sesama atau sebegitu pentingkah sebuah perusahaan melakukan kegiatan CSR? Apa yang melatarbelakangi seseorang, sekelompok orang dalam suatu komunitas masyarakat atau perusahaan, menolong dan membantu sesamanya? Karena panggilan hati, niat baik, sekedar memenuhi ajakan teman, atau mungkin sekaligus untuk mencari perhatian orang atau pihak lain ?

Bagiku, apapun alasannya, yang penting adalah ketulusan hati dari setiap orang yang melakukannya. Ketika kita atas nama perorangan, kelompok tertentu atau perusahaan, bersama-sama ke lokasi para korban banjir, membantu mereka membersihkan rumah dan lingkungan sekitar, menghibur anak-anak yang trauma akibat bencana yang baru saja dialaminya, atau ketika kita saling bahu membahu membangun sekolah yang rusak akibat gempa bumi. Dan apabila setiap dari kita melakukannya dengan begitu semangat, sukarela dan tulus hati, bahkan lelah dan peluh pun menjadi keriangan kami. Jadi, apakah masih perlu dipertanyakan, alasan apa yang melatarbelakangi mereka menolong sesamanya ?

Satu hal yang aku yakini bahwa siapa yang menabur benih kebaikan, maka ia akan menuai buah kebaikan.. Jadi, marilah kita berbuat baik selalu, dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun...

Sebuah keyakinan sederhana ini akan membawa setiap kita yang berbuat baik akan menerima kebaikan. Dan apabila satu orang di dunia ini berbuat baik kepada satu orang lainnya, dan satu orang yang menerima kebaikan berbuat baik lagi kepada satu orang lainnya, dan begitu seterusnya, maka maka aku yakin, dunia ini menjadi baik adanya, di masa sekarang sampai masa yang akan datang ...

Sabtu, 04 Juli 2009

Dua kata : "Terima Kasih ..."

Sebuah ucapan sederhana yang mampu mengubah kehidupan…
– seringkah kita menerima ucapan ”terima kasih” atau sudahkah kita mengucapkannya kepada orang lain ?


Aku sering kesal dan terkadang tak habis pikir kepada seseorang (yang mempunyai hubungan yang cukup dekat denganku). Aku seringkali membantunya dalam berbagai hal, baik ketika dia sedang ditimpa musibah atau aku yang memang sedang berbaik hati memberikan atau membelikan sesuatu untuknya. Namun jarang sekali aku mendengar kata “terima kasih” keluar dari bibirnya. Aku bukan seorang yang “gila pujian”, namun sekedar sebuah ucapan singkat itu rasanya bukan suatu hal sulit untuk dilakukan. Apa dia berpikir karena kedekatan hubungan kita membuat aku sudah “seharusnya” dan “sewajarnya” membantu dan menolongnya, sehingga tak perlu lagi sebuah ucapan itu dilakukannya.

Ternyata tak hanya kepadaku dia sulit mengucapkan kata “terima kasih”. Seringkali aku mendapatkannya juga ketika dia akan keluar parkir, di sebuah loket karcis parkir (kebetulan parkir gratis), begitu karcis diberikannya ke petugas dan palang parkir terbuka, dia dengan begitu saja melaju dengan mobilnya tanpa mengucapkan sepatah apapun. Memang terlihat hal ini simple, namun bukankah pada saat kita akan keluar parkir, walaupun gratis, namun kita juga telah dilayani oleh petugas itu, dan sekali lagi apalah susahnya mengucapkan kata “terima kasih” kepadanya atas pelayanannya?

Lama-lama aku gerah juga dengan kondisi seperti ini. Dan aku tak ingin, hanya karena sebuah ucapan sesederhana itu yang sangat jarang dia ucapkan, membuat aku menjadi hitung-hitungan dalam memberikan bantuan atau kebaikan kepadanya. Maka kucoba berbicara kepadanya dan memintanya untuk mulai belajar mengucapkan ”terima kasih” kepada siapapun yang telah memberikan bantuan sekecil apapun kepadanya.

Awalnya sangat sulit sepertinya, membuat dia melakukan hal itu. Aku harus berulang kali mengingatkannya untuk mengucapkan kata ”terima kasih” itu, bahkan kepadaku (padahal dipikir-pikir lucu juga aku meminta orang lain untuk mengucapkan terima kasih kepada diriku sendiri). Dan aku selalu memberikan contoh kepadanya dengan tak pernah lupa mengucapkan ”terima kasih” kepadanya, untuk setiap hal kecil apapun yang dia lakukan untukku.. Walaupun hanya sekedar untuk mengambilkan sendok atau tas, selalu kuucapkan dua kata itu kepadanya.

Usahaku kini sepertinya membuahkan hasil, kini dia mulai terbiasa mengucapkan kata ”terima kasih” kepadaku, kepada petugas loket parkir, dan kepada setiap orang yang telah melakukan sesuatu untuknya. Dan aku pun melakukan segala sesuatu untuknya dengan sukarela, karena dia telah menunjukkan kepadaku bahwa dia menghargai setiap apa yang kulakukan untuknya dengan sebuah ucapan ”terima kasih”.

Apakah kita merasa bahwa dua buah kata sederhana ”terima kasih” ini menjadi sangat berarti..? – aku sering menerima ucapan ”terima kasih” dari atasanku sesaat ketika aku pamit pulang kepadanya (setelah seharian aku bekerja di kantor). ”Terima kasih ya Yen...”, sebuah kalimat pendek yang dalam kondisi tertentu (mungkin ketika aku sedang merasa sangat lelah) mampu menggetarkan hatiku saat mendengar kata itu. Sebuah ucapan yang berarti dia (atasanku) merasa telah dibantu olehku dalam hal pekerjaan.

Jadi, pentingkah sebuah ucapan ”terima kasih” ? Percayakah kita bahwa dua kata sederhana itu, dapat membuat orang yang menerimanya, merasa menjadi orang yang berarti dan berguna dalam hidupnya? Membuat dua orang yang sedang bermusuhan bisa menjadi akrab kembali? Atau... justru dua kata sederhana itu, tetaplah menjadi sesuatu yang sederhana dan tak berarti apa-apa..?

Semua itu terserah Anda...

TERIMA KASIH untuk semua sahabatku yang telah membaca tulisan ini...
Semoga bermanfaat...