Selasa, 02 September 2008

Bahasa Bukan Sekedar Bahasa

“Kowe asale endi ?”
“Aku asal Jogja Mas..”
“Oh.. sama toh.. Aku juga gede neng kono.. “

Begitulah kira-kira sekelumit obrolan yang kudengar antara Lia dengan seorang customernya.

“Lia”, ya dia adalah seorang karyawati toko handphone kerabatku yang telah berkecimpung di bidang handphone selama kurang lebih 2 tahun. Lia.. emm..dia selalu dapat menarik customer dengan logat kejowoan-nya yang unik namun sederhana. Tak sedikit customer yang menjadi pelanggan saat ini didapatkan oleh karena daya tariknya itu. Setiap customer berlogat Jawa yang ditemuinya, langsung ditanggapi Lia dengan bahasa Jawa pula. Luwes sekali dia berkomunikasi, dengan gayanya yang medok. Jawa tulen deh pokoknya..

Pernah suatu waktu, seorang customer mampir ke toko kerabatku sekedar melihat-lihat saja, karena nampaknya memang tidak ada niat untuk membeli handphone. Namun pada akhirnya customer itu membeli juga. Karena Lia..? Emm..mungkin juga..
“Sing Ini horgone piro mba..?” (yang ini harganya berapa mba..?), sembari menunjuk sebuah hanphone yang terpajang di etalase.
“Pitu ngatus pitung puluh limo mas..” (tujuh ratus tujuh puluh lima mas..)
“Koq larang temen..?” (koq mahal sekali ?)
“Iki barange apik mas.. masih ono garansine. Deleng dulu wae mas, ora beli ora opo –opo koq..” (ini barangnya bagus mas, masih ada garansinya. Dilihat dulu saja mas, tidak beli tidak apa-apa koq)
“Iyo.. tapi ojo segitu toh horgone.. nanti pulang aku ora ono ongkose..” (iya, tapi jangan segitu harganya, nanti pulang aku tidak ada ongkos).

Dan Lia pun menanyakan keputusan harga tersebut ke bos-nya. Bos Lia (kerabatku) yang sedari tadi hanya mendiamkan Lia melayani customer, akhirnya mendekati customer tersebut.
“Bener lho mas udah murah.. pasarannya emang segitu.”
“Kurangi deh bos.. biar jadi aja.”
Kemudian kerabatku mendekat ke Lia dan berbisik, entah apa yang dibicarakan antara keduanya. Namun tak berapa lama setelah pembicaraan rahasia itu, kerabatku kembali menuju ke arah customer itu dan berkata, “Pitu ngatus selawe mas.. wis apik deh.. oke..??”

Spontan saja customer tersebut kaget dan tertawa geli mendengar ucapan kerabatku itu, yang sejujurnya.. memang terdengar agak kaku sih..J. Maklumlah, kerabatku bukan orang Jawa, tapi Betawi asli…!! J Jadi, ternyata sewaktu berbisik tadi, kerabatku menanyakan ke Lia bagaimana menyebutkan Rp725 ribu dalam bahasa Jawa. Dan singkat cerita, transaksi pun terjadi, deal dengan harga Rp725 ribu.

Dari cerita tersebut, apabila Lia tidak berbahasa Jawa dan apabila kerabatku pun tidak “ikut-ikutan” berbahasa Jawa, mungkin saja customer tersebut tidak jadi membeli, karena awalnya dia hanya sekedar melihat-lihat dan begitu banyak barang sejenis yang bisa didapatkan di toko-toko lain dengan harga yang sama pula. Namun setelah Lia menanggapi customer tersebut dengan menggunakan bahasa yang sama dengannya, customer itu merasa nyaman dan juga merasa dihargai, karena kerabatku pun (yang bukan seorang Jawa), ikut menyesuaikan diri dengan berbahasa Jawa, seakan menjadi sama dengan dia.

Tentunya customer lebih senang berhadapan dengan penjual yang mengerti akan dirinya. Seperti judul sebuah lagu “Karena Wanita Ingin Dimengerti”, customer pun ingin dimengerti. J Dimengerti kebutuhannya, dimengerti bahasanya, dimengerti latar belakangnya, dsb. Semakin dekat seorang penjual kepada customernya, semakin melekat di ingatan customer bagaimana baik buruknya pelayanan yang diterimanya.

Bayangkan saja, apabila kita sebagai customer, menemui penjual yang gaya dan bahasanya cuek, bahkan cenderung jutek. Pasti kita malas untuk berlama-lama berada di toko tersebut, apalagi untuk membelinya. Tentu kita akan lebih senang bertemu dengan penjual yang ramah, dan terlebih lagi mereka memiliki bahasa, asal daerah atau latar belakang yang kurang lebih sama dengan kita. Pasti kita akan merasa lebih akrab, lebih nyaman dalam berkomunikasi, dan keraguan pun hilang. Di jaman sekarang ini, customer cenderung mencurigai penjual alias “takut dibohongi.” Oleh karena itu, kesan pertama berjumpa dengan customer harus dimanage sebaik mungkin, agar customer merasa nyaman dalam bertransaksi.

Jadi, apabila seorang Customer Service yang bersuku Batak kebetulan bertemu dengan seorang customer yang juga bersuku Batak, tentu akan lebih baik apabila CS itu melayaninya dengan menggunakan bahasa Batak. Atau apabila seorang Pimpinan Perusahaan bertemu dengan seorang customernya (Chinnesse) yang sangat ahli berbahasa mandarin, dan kebetulan pimpinan tersebut yang walaupun bukan seorang chinesse namun bisa berbahasa mandarin, tentu akan lebih baik apabila komunikasi dilakukan dalam bahasa mandarin, agar suasana menjadi lebih hangat dan akrab.

Yah.. mungkin cara menarik pelanggan seperti ini terkesan kuno, dan mungkin juga terlupakan oleh kita, seiring dengan kemajuan teknologi dan inovasi ilmu marketing dewasa ini. Namun apabila hal “kecil” ini diterapkan tentu akan berdampak positif.

So… kalau hanya sekedar bahasa saja dapat memberikan kontribusi terhadap suksesnya sebuah penjualan, mengapa tidak kita coba.. ?


“Be the same with our customer, and we will see how the change happens to our sales.”

Mohon maaf, apabila dalam pemaparan bahasa Jawa diatas terdapat kesalahan, maklum penulis juga bukan seorang Jawa tulen.

Tidak ada komentar: