Senin, 15 September 2008

Mahalkah suatu "Kualitas" ?

Sesuatu yang berkualitas ya pasti mahal..

Banyak pendapat yang menyatakan demikian.
Benarkah .. ?
Tergantung dari masing-masing kita dalam mempersepsikannya. Kalau kita sudah mengalami sendiri, baru kita bisa angkat bicara...

Beberapa waktu lalu, saya sempat dibuat kesal oleh seorang supir taxi (tak perlu disebut nama taxi, supir, apalagi nomor taxi nya, hehe.. ya nda dihafal lah ya.. tapi yang pasti karena memang tidak ada tanda pengenal terpajang di dashboard mobil). Waktu itu, saya men'stop' taxi dari depan kantor (ambassador) untuk menuju daerah Sarinah. Memang sejak masuk, perasaan saya mulai tak enak, selain tak ada pengenal pengemudi, juga kondisi mobil yg tak terawat. Sampai sempat saya menengok beberapa kali ke belakang jok, untuk memastikan aman, karena takut seperti di berita-berita kriminal, dimana bisa saja penjahat mengumpat di belakang jok mobil.

Sepanjang jalan dari ambassador sampai dengan Kuningan lancar, namun mendekati arah Sarinah justru padat merayap. Sang supir mulai menunjukkan ketidaksopanan, dengan (maaf) bersendawa, ngebut-ngebut, ditambah dengan sikap yang malas-malasan ketika melihat jalanan macet. Kemudian dia bertanya kepada saya "Ini mau turun dimana ya?", saya bilang "nanti di depan tuh belok kiri". Kemudian dia berkata lagi (dengan kurang jelas), "di Jl. Sunda?", "Iya" kataku. "Macet banget kearah sana, macetnya dari sini nih panjang". Saya balik bertanya, "lalu..? kan di depan nya lagi juga sama aja, macet juga". Dan dia berkata, "ya... maksudnya turun di depan gang, tidak usah belok kiri". Dengan nada mulai kesal saya menyahut, "kalau saya mau belok bagaimana..?". Dia pun tak mau kalah kesal, tanpa menyahut tapi menunjukkan sikap tidak senang dengan menggaruk-garuk kepala (ya gatel kali.. ga keramas soalnya, he..), dia mulai memainkan hape nya. Memutarkan nada dering yang menurutnya lucu, tapi sama sekali tidak buatku. Kalau tidak salah ingat, nada dering-nya "bebek-entok, apalah... "

Kemudian karena mobil jalan sangat perlahan, ditambah harus melihat kelakuan si supir, saya putuskan untuk berhenti juga di depan gang, kebetulan saat itu argo menunjukkan angka yang kalau dibulatkan (sedikit) pas Rp20ribu. Daripada saya harus melebihkan uang untuk pelayanan yang seperti itu, mending saya berjalan kaki sampai ke tujuan.

Sebagai konsumen, saya sangat berhak menuntut pelayanan yang baik atau memuaskan. Dalam kasus ini, apakah si supir berhak meminta penumpangnya mengakhiri tumpangan sesuka hati..? Apakah ada informasi lisan atau tertulis sebelumnya, bahwa taxi ini hanya melayani penumpang dengan tujuan yang "tidak macet" ? Kalau hal ini demikian adanya, tentu saya tidak berhak komplain, dan tentunya saya tidak akan naik taxi itu. Simple kan..?

Sangat jauh berbeda hal yang saya rasakan dengan taxi lainnya (si biru manis).. Setidaknya hingga saat ini, pengalaman saya bersama si biru baik-baik saja. Dari mobilnya yang rapi, supirnya yang sopan, sapaannya, perilaku mengemudi (selelah apapun dia, masih menyapa dan sopan dalam bersikap).
Berkualitas !
Kata itu yang tepat saya berikan untuk taxi tsb.

Apakah yang berkualitas itu mahal..? bisa iya bisa tidak.
Kenyataannya sekarang ini, dalam hal per"taxi"an, memang si biru lebih mahal dibanding taxi lainnya (walaupun dengan BBM yang mahal sekarang ini, taxi berlabel "tarif murah" pun mulai gerah dan akan mengikuti harga si biru).

Mahal atau tidak nya suatu produk atau jasa, banyak faktor yang perlu dilihat dan ditelaah. Hingga akhirnya kita berada pada suatu keputusan pribadi, apakah dengan yang mahal kita nyaman, atau justru membiarkan saja kenyamanan itu tergantikan dengan yang murah ?

Jawabannya ada pada kita masing-masing.

Yang pasti, setiap konsumen selalu mengharapkan segala kebutuhannya terpenuhi !

Tidak ada komentar: